Kota Baghdad mulai memegang peranan penting, ketika Dinasti Abbasiyah menggulingkan Dinasti Ummayah yang berpusat di Damaskus
Layaknya New York di era modern, Baghdad boleh dibilang sebagai ibu kota dunia pada abad pertengahan. Ketika Eropa dicengkram kegelapan, Baghdad justru telah menjelma sebagai pusat peradaban terbesar dan menjadi tanah impian yang begitu memikat. Di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah, kota metropolis intelektual itu mencapai masa keemasannya dan telah mewariskan peradaban bagi dunia.
Kota yang berjuluk 1001 malam itu berada di dataran subur, pusat pertanian Irak yang dilalui Sungai Tigris. Baghdad terletak di sebelah utara Sungai Efrat dan sebelah barat laut Teluk Persia. Sebelum mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-8 M, Baghdad telah dijelajahi dan ditempati manusia pada tahun 4000 SM. Persia, Romawi serta Yunani silih berganti menguasai Baghdad.
Baghdad yang berarti hadiah dari Tuhan itu mulai memasuki babak baru, ketika Islam menaklukkan wilayah Irak. Pada 634 M, atas perintah Khalifah Umar bin Khattab, panglima tentara Islam, Khalid bin Walid menaklukan Persia. Islam pun disambut penduduk setempat. Awalnya, Baghdad belum begitu diperhitungkan, sebab umat Islam justru menjadikan Kufah dan Basrah sebagai basis pertahanan.
Kota Baghdad mulai memegang peranan penting, ketika Dinasti Abbasiyah menggulingkan Dinasti Ummayah yang berpusat di Damaskus. Di bawah kekuasaan Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur, pusat kekuasaan beralih ke Baghdad. Khalifah kedua dari Dinasti Abbasiyah itu, pada 762 M, menyulap perkampungan kecil itu menjadi sebuah kota baru.
Pemilihan Baghdad sebagai pusat pemerintahan didasarkan pada berbagai pertimbangan, seperti politik, keamanan, sosial serta geografis. Kufah dan Basrah yang lebih dulu berkembang tak dijadikan pilihan, lantaran kedua kota itu adalah basis lawan politik Abbasiyah. Kajian ilmiah pun dilakukan Khalifah Al-Mansur sebelum mendapuk Baghdad sebagai sentral pemerintahan.
Al-Mansur mengirimkan sejumlah ahli untuk meneliti Baghdad. Kondisi tanah, udara serta lingkungan benar-benar dipertimbangkan. Setelah dinilai layak, barulah Khalifah mengetuk palu memutuskan Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Abbasiyah. Seperti halnya kota Roma, Baghdad dibangun tak selesai dalam sehari.
Sebanyak 100 ribu ahli bangunan, mulai dari arsitek, tukang batu, tukang kayu, pemahat, dan sebagainya dikerahkan untuk membangun Baghdad. Para pekerja itu didatangkan Khalifah dari berbagai wilayah, seperti Suriah, Mosul, Kufah, Basrah, hingga Iran. Dana yang dihabiskan untuk membangun Baghdad mencapai 3,88 juta dirham.
Uniknya, tata kota Baghdad dirancang berbentuk bundar. Sehingga, Baghdad pun dijuluki sebagai Kota Bundar. Bak sebuah benteng pertahanan, sekiling Baghdad dipagari tembok sebanyak dua lapis tembok yang besar dan tingginya mencapai 90 kaki. Di luar tembok dibangun parit. Seakan terinspirasi dengan Perang Khandaq pada zaman Rasulullah SAW, parit itu digunakan sebagai saluran air dan benteng pertahanan.
Selain itu, di tengah kota bertengger Istana Khalifah nan megah bernama Al-Qasr Az-Zahabi (Istana Emas). Keindahan dan kemegahannya menunjukkan kehebatan Dinasti Abbasiyah. Untuk mempertegas keislaman, di samping istana berdiri Masjid Jami Al-Mansur seluas 100 x 100 meter. Kubahnya menjulang tinggi ke langit setinggi 130 kaki.
Kota Baghdad juga dilengkapi bangunan pengawal istana, polisi, tempat tinggal Khalifah, pasar dan tempat belanja. Untuk menuju pusat kota Baghdad, para pengunjung bisa melalui empat gerbang. Di sebelah Barat Daya ada gerbang Kufah, di arah Barat Laut terdapat Gerbang Syam, di Tenggara disediakan gerbang Basrah dan gerbang Khurasan terletak di arah timur laut.
Di setiap pintu gerbang terdapat menara pengawas dan tempat beristirahan yang dihiasi ukiran-ukiran nan indah. Sebelum tutup usia, Al-Mansur juga sempat membangun istana Ar-Rufasah. Sebagai pendiri Baghdad, Khalifah menyebut kota itu sebagai Madinah As-Salam ( kota perdamaian).
Selepas wafatnya, Al-Mansur, Khalifah penggantinya juga terus melakukan pembangunan. Baghdad pun kian elok dipandang. Sarana ibadah, pendidikan, penelitian, kesehatan, perdagangan dan bisnis pun bermunculan. Maka tak heran, jika pada 800 M, Baghdad telah menjelma menjadi pusat peradaban, pendidikan, ilmu pengetahuan, perdagangan, ekonomi dan politik.
Baghdad mencapai puncak kejayaannya pada era pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M) dan Khalifah Al-Ma'mun (813-833 M). Baghdad begitu termashur, karena kejayaan perdagangan dan kebudayaan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat. Baghdad pun begitu semarak dengan aktivitas keilmuan, bisnis dan pusat kekuasaan.
Kota Baghdad yang indah dan megah telah melahirkan sejumlah ilmuwan besar di abad ke-9 hingga ke-13 M. Transfer pengetahuan dari Yunani juga telah membuat Baghdad menjadi pusat pengembangan ilmu kedokteran, matematika, astronomi, kimia, literatur dan berbagai peradaban lainnya.
Sebagai sebuah metropolis intelektual, Baghdad juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas publik, seperti museum, rumah sakit, perpustakaan, pusat bisnis serta masjid. Kondisi Baghdad, pada era keemasan begitu kontras dengan keadaan Eropa yang tercengkram dalam masa kegelapan. Baghdad telah menjadi jantung yang menggerakan peradaban di seantero jagad.
Setelah 500 tahun berkuasa, kejayaan Dinasti Abbasiyah perlahan mulai meluntur. Pertentangan dan friksi yang terjadi di kalangan umat Islam mulai melemah. Cerita kebesaran dan keagungannya berakhir tragis setelah Baghdad luluh-lantak dihancurkan bangsa Mongol pimpinan Hulagu Khan pada 1258 M.
Ribuan sarjana dan 100 ribu warga Baghdad dibantai. Perpustakaan, saluran irigasi, serta gedung-gedung benilai sejarah dibumi hanguskan. Peritiwa kelam yang terjadi tujuh abad lalu itu kembali menimpa Baghdad. Pada tahun 2003 ketika Irak diserang AS.
Cahaya Kebangkitan dari Timur
Era keemasan Islam di Baghdad ditandai dengan berkembangnya ilmu agama, filsafat dan ilmu pengetahuan. Khalifah mendorong para ulama dan sarjana untuk berlomba-lomba mengkaji ilmu. Dengan tawaran gaji, fasilitas, dan hadiah yang besar, para sarjana Islam menerjemahkan sederet karya-karya ilmiah dari Yunani, Persia, Syria, dan Koptik ke dalam bahasa Arab.
Gerakan penerjemahan itu berlangsung selama 100 tahun. Awalnya, pendidikan dilaksanakan di masjid atau di rumah-rumah. Para ulama mengajar dengan sistem halaqah (pertemuan). Waktu itu beberapa masjid sudah dilengkapi dengan perpustakaan. Lembaga pendidkan dasar-menengah disebut kuttab.
Kekuatan penuh kebangkitan Timur mulai tampak setelah Baitulhikmah yang didirikan Khalifah Harus Ar-Rasyid sebagai lembaga penerjemah berkembang menjadi perguruan tinggi, perpustakaan dan lembaga penelitian pada era Khalifah Al-Ma'mun.
Baitulhikmah memiliki koleksi ribuan judul ilmu pengetahuan. Perpustakaan besar itu didesain khusus. Di dalamnya terdapat sebuah ruang baca yang sangat nyaman. Tak hanya itu, Baitulhikmah juga menjadi tempat-tempat tinggal bagi para penerjemah. Secara rutin, para ilmuwan menggelar diskusi-diskusi ilmiah. Baitulhikmah juga digunakan sebagai tempat pengamatan bintang.
Kehadiran Baitulhikmah mendorong Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, ilmu kesusasteraan dan syariat Islam di seluruh kerajaan Islam - termasuk dunia. Al-Ma'mun mempercayakan tugas penerjemahan di Baitulhikmah kepada Yahya bin Abi Mansur serta Qusta bin Luqa, Hunain bin Ishaq dan Sabian Sabit bin Qurra.
Ketika Al-Ma'mun mendirikan Baitulhikmah, ia sempat mengirimkan utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani kuno untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada tahap awal, para ilmuwan di Baitulhikmah menerjemahkan karya-karya bidang kedokteran dan filsafat.
Setelah itu, karya-karya dalam bidang matematika, astrologi, dan ilmu bumi mendapat perhatian. Prestasi yang menonjol yang dihasilkan para sarjana di lembaga itu adalah penemuan susunan peta bumi. Pada masa itu juga diketahui cara menentukan arah kiblat bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat. Ghirah ilmu pengetahuan dan agama di era keemasan Dinasti Abbasiyah itu telah melahirkan sederet sarjana dan ilmuwan besar yang berpengaruh, seperti Al-Kindi.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di Baghdad turut mewarnai dan berpengaruh terhadap kota-kota lain seperti Kairo, Basra, Kufah, Damaskus, Sarkand, Bukhara, dan Khurasan. Para pelajar yang datang dari berbagai wilayah ke Baghdad, kemudian mengembangkan pengetahuan di tanah kelahiran mereka masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar